• Layanan dan Kegiatan

    Minggu : Pkl.09.00 WIB hingga Pkl.15.00 WIB Pengembalian dan Peminjaman Buku : Senin s.d Sabtu

Kalau kita hubungkan dengan kondisi umat islam dewasa ini, budaya baca yang rendah masih menjadi salah satu faktor kemunduran umat Islam, padahal ayat pertama yang di turunkan oleh Allah adalah perintah untuk membaca,”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. Al-Alaq: 1-5).

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa untuk bangkit dari kebodohan dan keterpurukan di bidang keilmuan adalah dengan banyak membaca, membaca dengan patokan IsmiRabb, selain membaca kita juga disuruh oleh Allah untuk menuliskannya, artinya adalah mempublikasikan, ironisnya budaya baca yang diperintahkan oleh Allah banyak diabaikan, sehingga tidak heran kalau umat Islam lebih banyak menjadi umat penonton, umat yang hanya pandai berkomentar, tetapi tidak banyak mempunyai tradisi membaca, waktu lebih banyak untuk menonton daripada untuk membaca, budaya baca yang sangat rendah berakibat kurangnya budaya riset, dan inilah cikal bakal kemunduran Umat Islam, budaya baca yang rendah berakibat kepada kurangnya minat berfikir rumit, yang terjadi adalah sebaliknya, umat Islam lebih suka berfikir ringan, tidak suka bersulit-sulit, dalam menonton pun bangsa Indonesia lebih suka yang bersifat hiburan, tetapi masih sedikit yang menonton tayangan bersifat keilmuan dan teknologi.


Kebiasaan menonton menjadikan umat Islam Indonesia menjadi umat konsumen, umat yang terima bersih, terima beres tidak ingin susah kalau ada yang mudah, keadaan ini menjadikan umat Islam enggan untuk menemukan atau mengadakan penelitian sendiri, apalagi berfikir menjadi produsen, untuk itu perlu kesadaran umat Islam untuk membangkitkan budaya baca, sehingga lahir berbagai pemikiran, pikiran dan wawasan terbuka luas seluas alam ini. Berawal dari membacalah akan terbuka gerbang ilmu, pendidikan tanpa budaya membaca akan sia-sia, membaca tanpa penelitian akan kesulitan, sedangkan penelitian tanpa publikasi akan mati. Wallahu A’lam.

Gambaran nyata dari lemahnya budaya baca dalam masyarakat kita, tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2006 menunjukkan bahwa masyarakat yang mendapatkan informasi lewat cara membaca buku baru mencapai 23, 5 %. Kondisi itu lagi-lagi kontras dengan perolehan informasi dari televisi yang mencapai 85,9 %.Tampak nyata bahwa televisi begitu digemari. Padahal menurut Dharma Singh Khalsa, dalam Brain Longevity, televisi menjadikan otak pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis, dan terutama sekali merusak kecerdasan spasial dan otak sebelah kanan. Bahaya paling besar dari televisi ialah mengalihkan perhatian orang dari membaca buku.

Secara historis perpustakaan Islam telah memberikan banyak kontribusi dalam sejarah perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan kepada masyarakat, khususnya dikalangan masyarakat islam. Perhatian yang tinggi terhadap pendidikan dan kemuliaan buku sebagai media pengetahuan menjadi asas tumbuhnya perpustakaan dalam peradaban Islam. Dalam Islam, buku tidak saja diperlakukan semata-mata sebagai media, bahkan mempunyai nilai-nilai moral yang melandasi perhatian yang diberikan padanya. Perhatian ini mengharuskan penyebaran buku secara meluas dan pemeliharaan buku sebagai kegiatan yang mendukung ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Banyaknya perpustakaan yang dapat dijumpai dan melimpahnya buku mencerminkan kesadaran masyarakat Islam pada masa kejayaan Islam terhadap ilmu pengetahuan. Maka tak heran banyak pustakawan yang lahir, salah satu diantaranya yang terkenal ialah Muhammad Ibn Ishaq Al–Nadim. Beliau menerbitkan suatu buku indeks dengan judul Al–Fihrist, yang merupakan maha karyanya. Kitab Al–Fihrist merupakan indeks buku–buku karya orang arab dan orang nonarab yang ditulis dalam bahasa arab tentang semua cabang pengetahuan, disusun berdasarkan pengarang, asal–usul dan riwayat hidupnya dan negeri tempat tinggal, sejak cabang ilmu pengetahuan dikembangkan sampai tahun 987–988.

Salah Satu Perpustakaan yang termegah ialah perpustakaan Bayth Al–Hikmah, yang didirikan oleh Khalifah Harun Ar–Rasyid dan mencapai puncak kejayaan pada masa anaknya, khalifah Al Ma’mun. Perpustakaan tersebut sampai pertengahan abad ke–9, koleksinya mencapai kurang lebih satu juta koleksi yang berisi teks berbagai ilmu pengetahuan, sastra, dan filsafat dari pelbagai negeri. Di dalamnya terdapat sebuah ruang baca yang megah dan tempat tinggal para pekerja perpustakaan.

Di samping itu, di dalam perpustakaan tersebut juga terdapat tempat–tempat pertemuan para ilmuan untuk mengadakan diskusi–diskusi ilmiah dan tempat pengamatan bintang. Perpustakaan ini lebih menyerupai sebuah universitas. Perpustakaan tersebut juga berfungsi sebagai kantor penerjemahan, terutama karya–karya kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi, dan ilmu alam. Buku–buku yang diterjemahkan didatangkan dari Bizantium dan tempat lainnya.

Sudah saatnya umat Islam kembali mengkaji ayat-qauliyah dan qauniyah, agar kejayaan masa lalu dapat diraih kembali, dengan cara mengintegrasikan antara pendidikan yang bersifat keislaman dengan pendidikan yang bersifat sains dan teknolog secara organis dan menyeluruh.

Selain itu ada faktor-faktor lain yang perlu segera dibenahi, di antaranya adalah memberi perhatian besar terhadap dunia pendidikan, karena dengan pendidikan umat Islam akan bangkit dari kebodohan dan keterpurukan.Perhatian terhadap pendidikan hendaknya mencakup kurikulum sarana dan parasarana, serta sumber daya manusianya. Dengan harapan nantinya dunia pendidikan mampu memberi pengajaran yang menyeluruh, baik pengkajian yang bersifat qauliyah maupun bersifat qauniyah. Sehingga dikotomi antara ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama dalam sistem pendidikan islam bisa terputus.


0 komentar to "Menilik Peran Perpustakaan Islam Dalam Mewujudkan Tujuan Pendidikan Islam"

Posting Komentar